Minggu, 16 Mei 2010

Tetap Mulia, Walau Hamil Tanpa Nikah
Friday, 21 May 2010 12:53 Jalan-Jalan
E-mail Print PDF
Kesalehan dibalas dengan hamil di luar nikah. Ada pula bayi yang malah dihanyutkan di sungai.

oleh: Abu Ammar*

DENGAN masjid tak kurang dari 30 buah, kota Hamburg, Jerman, menawarkan kemudahan bagi kaum Muslim. Selain tempat ibadah, kedai dan restoran yang menjual makanan dan minuman halal mudah sekali ditemukan di kota yang ditaburi aneka taman dan danau indah nan syahdu itu. Di Hamburg ada pula toko dan restoran halal Indonesia. Di situ, orang dapat membeli aneka bahan makanan maupun hidangan siap santap khas Indonesia, dan halal pula.

Bagi warga muslim Indonesia, Hamburg juga menawarkan majelis-majelis pengajian yang memberikan siraman ruhani. Dari pengajian anak-anak, muda-mudi, bapak-bapak hingga kajian ke-Islaman untuk ibu-ibu. Pengajian bapak-bapak biasanya diadakan setiap Jum’at malam, sebagaimana dikisahkan Hidayatullah.Com sebelumnya (baca: Tidak Mungkin Menemukan Agama Paling Benar!). Pengajian ibu-ibu biasanya dilakukan setiap hari Sabtu seusai acara Taman Al Qur’an anak-anak dan remaja. Selain itu, ada lagi pengajian ibu-ibu bulanan di hari Ahad, sebagaimana pula pengajian muda-mudi yang dijadwalkan setiap bulan di hari Sabtu (baca: Memotong Besi Dengan Air).

Surga di Hamburg

Pengajian bulanan ibu-ibu warga Indonesia di Hamburg yang barusan dilaksanakan Ahad lalu penuh pelajaran berharga. Betapa tidak, sebagian mereka tetap bersemangat walau harus jauh datang ke tempat pengajian disertai macet yang lama.

Dilihat dari keikutsertaan dalam berpendapat, mereka juga memperlihatkan dorongan kuat untuk saling nasehat-menasehati dalam hal kebaikan dan kesabaran. Mereka tampak tidak canggung untuk bertanya, menjawab, dan saling berbagi pengalaman dan pengetahuan berharga untuk memperbaiki diri di hadapan Allah. Belum lagi aura silaturahim yang kental dan menyegarkan jiwa.

Gemerlapnya tarikan-tarikan duniawi dan kehidupan materialitis yang luar biasa di Hamburg tidaklah melupakan mereka untuk mengingat Allah dan berlomba kepada kebaikan. Terlihat bahwa peserta pengajian sadar akan arti hidup ini, dan berusaha berbuat sebaik mungkin untuk mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah di dunia ini dan di akhirat kelak. Seolah surga dunia seperti Hamburg tidaklah lengkap jika belum ditambah surga ruhani seperti forum-forum pengajian seperti itu, demi meraih akhir kematian yang baik dan surga ukhrawi. Aamiin.

Baik bisa dipandang buruk

Ada hal menarik dalam diskusi di pengajian kala itu. Salah seorang peserta mengemukakan permasalahannya pasca ceramah mengenai kedudukan niat dalam amal perbuatan. Sang peserta mengemukakan permasalahannya bahwa ketika seseorang sudah beramal baik dengan niat baik, lalu mendapatkan tanggapan atau balasan yang tidak menyenangkan dan membuat kesal, bagaimana sebaiknya bersikap.

Sungguh sebuah permasalahan yang juga sering menimpa banyak manusia, yang berharap balasan kebaikan dari amal baik yang dilakukannya. Itu adalah hal yang wajar. Namun, jika sebaliknya yang terjadi, di mana tanggapan atau balasan yang tidak menyenangkanlah yang justru didapat, bagaimana dong?

Tidak mudah memang menjawab pertanyaan seperti itu. Jawaban di pengajian tersebut sengaja dibahasakan ulang di sini dengan harapan mudah-mudahan bermanfaat pula bagi pembaca sekalian.

Jawaban: Allah berjanji tidak akan menyia-nyiakan amalan baik hamba-Nya sekecil apa pun. Dan janji Allah pasti mutlak benar, sebagaimana firman-Nya:

"Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al Zalzalah, 99:7). “Sesungguhnya barang siapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik". (QS. Yusuf, 12:90)

Itulah janji Allah SWT, yang Maha Menepati Janji. Dan balasan terbaik Allah di dunia dan akhirat terkadang memang di luar jangkauan akal manusia. Ini lantaran Allah memberi balasan terbaik-Nya berdasarkan Kemahatahuan-Nya, Kemahakasih-sayang-Nya dan Kebijaksanaan-Nya yang tidak terbatas; dan bukan berdasarkan pengetahuan akal manusia yang sempit.

Namun tidak jarang manusia memaksakan menggunakan akalnya yang terbatas untuk memahami balasan Allah tersebut. Akibatnya, balasan Allah yang sebenarnya sempurna dan mengandung hikmah kebaikan besar itu tampak buruk di mata manusia, sehingga mengesalkan, dan membuat orang menggerutu. Sebagian orang bahkan malah mungkin menuduh bahwa Allah tidaklah adil, na’uudzubillaah min dzaalik.

Teladan yang hamil di luar nikah

Sebagai contoh jawaban atas pertanyaan di atas adalah kisah Maryam, yang diberi balasan (ujian) terbaik Allah berupa hamil di luar nikah, tanpa suami. Maryam sangatlah taat kepada Allah dan menjaga kehormatan (kemaluan)nya. Tapi ia malah diberi Allah “balasan berupa hamil dan melahirkan anak di luar nikah, serta tanpa suami”.

Secara logika atau akal manusia, ini sungguh balasan yang bertolak belakang, tidak masuk akal, dan buruk sama sekali. Tidak pantas hal itu diperuntukkan bagi orang yang taat beribadah dan menginginkan kehormatannya terjaga seperti Maryam. Tapi itu menurut manusia yang akalnya sempit, namun tidak demikian menurut Allah, yang Mahatahu dan Mahabaik terhadap Maryam.

Maryam adalah satu-satunya wanita yang namanya disebut secara jelas dan langsung di dalam Al Qur’an. Bersama Asiyah, istri Fir’aun, Maryam adalah dua wanita yang disebut Al Qur’an sebagai teladan bagi orang mukmin:

“Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim". Dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.” (QS. At Tahrim, 66:11-12)

Di ayat di atas disebutkan secara jelas bahwa Maryam adalah teladan bagi orang beriman. Maryam tidak hanya sekedar orang yang taat kepada Allah, tapi juga orang yang memelihara kehormatannya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa yang dimaksud memelihara kehormatannya adalah memelihara keperawanan (kemaluan), mempertahankan dan mensucikan kehormatannya, dengan tetap perawan dan bersih dari tindakan asusila. Balasan Allah adalah dengan memberi (menguji)nya dengan mengandung Nabi Isa tanpa menikah, tanpa suami.

Ini sungguh ujian yang sangat berat sehingga ia dituduh masyarakatnya sebagai penzina (Al Qur’an surat Maryam (19) ayat 16-35). Namun justru Nabi Isa-lah, yang lalu dapat berbicara ketika masih bayi, yang kemudian membantah telak segala tuduhan buruk terhadap Maryam selama ini, serta menegaskan kesucian Maryam. Dengan kata lain, Nabi Isa, yang dikandung Maryam tanpa suami, justru menjadi salah satu hadiah balasan terbaik Allah kepada Maryam atas kesalehannya, sebagai bukti kesucian dan kemuliaannya di sisi Allah. Balasan terbaik itu tidak hanya terbatas bagi Maryam saja, tapi juga sebagai rahmat bagi kaumnya yang mengikuti risalah Nabi Isa AS

Keselamatan di dalam sumber bahaya

Adalagi kisah ibu Nabi Musa, yang juga diketengahkan untuk menjawab pertanyaan di atas. Ibu Nabi Musa ingin menyelamatkan anaknya yang masih bayi dari kekejaman Fir’aun, yang memerintahkan bayi laki-laki bani Israil agar dibunuh. Anehnya, ketika sang ibu mengkhawatirkan keselamatan bayinya, Allah justru mengilhamkan sang ibu untuk melakukan tindakan yang secara logika manusia justru memperbesar kekhawatiran itu. Sang ibu malah disuruh berpisah dengan bayinya, dan menghanyutkannya di sungai nil. Tidak hanya itu, Allah malah menjadikan sang bayi ditemukan, dan diangkat menjadi anak oleh keluarga yang menjadi sumber kekejaman itu sendiri, yakni Fir’aun.

Akal pikiran manusia mengatakan, kalau ingin selamat, maka sang ibu dan anak yang masih menyusui itu tidak boleh berpisah, tapi selalu bersama. Keduanya mesti pula melarikan diri sejauh-jauhnya dari sumber kekejaman itu, yakni Fir’aun. Tapi Allah secara bertolak belakang malah mengilhami sang ibu agar berpisah dengan bayi dalam susuannya, dan menghanyutkannya sendirian di sungai besar dan dalam, dan memiliki binatang liar yang siap merenggut nyawa sang bayi. Hal ini dikisahkan Allah dalam surat Al Qashas (28) ayat 7-13.

Namun logika dan akal manusia sungguhlah terbatas. Sebaliknya, Allah-lah yang Maha Pengasih, Penyayang dan Bijaksana. Allah sudah pasti bukanlah Tuhan yang dungu dan gemar mencelakakan hamba-Nya. Mahasuci Allah dari sifat yang demikain itu. Tetapi, dengan ke-Mahatahuan-Nya, dan Ilmu-Nya yang tak terbatas, Allah adalah yang paling Tahu bagaimana cara terbaik menyelamatkan hamba-Nya seperti nabi Musa.

Sungai Nil beserta isinya adalah ciptaan Allah dan mutlak di bawah kendali-Nya. Allah menjadikan Nil sebagai sungai yang aman bagi bayi bernama Musa. Dengan cara menghanyutkan ke sungai itu, akhirnya Musa ditemukan keluarga Fir’aun dan diasuhnya, serta disusui lagi oleh ibunya sendiri setelah pihak keluarga Fir’aun mencari orang yang bisa menyusui Nabi Musa. Tempat manakah yang paling aman dari kekejaman Fir’aun kalau bukan di dalam istana Fir’aun sekaligus jaminan keamanan dari Fir’aun sendiri?:

“Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Qashas, 28:13-14)

Nasi biru, nasi hijau

Demikianlah, jika seseorang percaya bahwa Allah pasti mutlak membalas niat dan amal baiknya dengan kebaikan pula, maka orang itu seharusnya tidak memaksakan bahwa balasan itu harus sesuai dengan akal dan pemikirannya yang terbatas. Ibarat ikut perlombaan, maka sedari awal mendaftar perlombaan itu seorang peserta lomba tidak berhak meminta panitia lomba agar memberi hadiah sesuai dengan apa dimintanya. Begitu pula dengan berlomba berbuat kebaikan di dunia, orang memang dituntut beramal baik sesuai kemampuannya. Tapi tentang balasan terbaik yang bakal diterimanya, maka itu menjadi hak penuh Allah Yang Mahatahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Boleh saja berharap balasan baik berupa hal-hal yang diinginkan seseorang setelah orang itu beramal dengan sebaik-baiknya sesuai tuntunan Allah. Namun jika balasan yang diterima adalah sebaliknya, maka akal pikiran terkadang tidak mampu memahaminya. Akal manusia tidak jarang malah memandang buruk balasan yang sejatinya adalah kebaikan yang luar biasa besar. Jika ini yang terjadi, maka kacamata akal pikiran semestinya tidak diutamakan, tapi kacama keimanan, untuk memahami balasan yang sekilas terlihat buruk itu. Salah kacamata bisa berakibat salah paham. Ibarat mengatakan nasi putih itu warnanya biru atau hijau gara-gara menggunakan kacamata berwarna kaca biru atau hijau, sudah pasti salah. Kalau menggunakan kacamata bening tanpa warna, maka akan benar pemahamannya tentang warna nasi putih itu: yakni benar-benar putih sebagaimana adanya.

Bagaimana menggunakan kacamata iman?

Apa yang dimaksud dengan memahami balasan yang tidak diharapkan itu dengan menggunakan kacamata keimanan? Maksudnya adalah sebagaimana berikut:

Karena kacamata iman mengatakan bahwa Allah Maha Membalas amal baik hamba-Nya dengan balasan kebaikan pula, maka sudah pasti balasan Allah itulah yang terbaik. Tidak menjadi soal meski sekilas balasan itu kelihatan buruk dalam pikiran manusia yang terbatas.

Contohnya: seseorang berniat baik dan melakukan perbuatan baik dengan memberi sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain. Bukannya berterima kasih, orang yang diberi itu malah cuek, bahkan membalas dengan caci-maki kepada si pemberi. Dengan menggunakan keimanan bahwa Allah Maha Membalas amal baik hamba-Nya, maka orang yang beramal tersebut yakin bahwa ujian berupa sikap “cuek dan caci-maki” yang diterimanya itulah balasan terbaik Allah. Sebab dengan ujian ini Allah membalas kebaikannya dalam bentuk sifat ikhlas, sabar, pemaaf, tidak mudah marah, dan segala akhlak mulia lainnya dalam diri si pemberi itu. Dan jika sifat-sifat mulia ini tumbuh dan terbentuk pada diri si pemberi itu, maka insya Allah akan menghantarkannya kepada Surga, balasan terbaik Allah yang abadi.

Lagi, karena kacamata iman mengatakan bahwa Allah Maha Penyayang maka balasan itu pasti ada unsur kasih sayang Allah. Contoh: kembali kepada kisah pemberi yang dicaci-maki oleh orang yang diberi di atas. Karena si pemberi yakin bahwa Allah Maha Penyayang, maka ia yakin bahwa “caci-maki” itu pasti balasan terbaik Allah lantaran kasih sayang-Nya terhadapnya. Sebab boleh jadi Allah Maha Tahu bahwa si pemberi memiliki jiwa yang mudah tergelincir, sehingga jika balasan itu berupa ucapan terima kasih, pujian, dan sanjungan kepadanya malah akan mudah sekali membuatnya sombong, takabur, dan terlalu bangga diri atas apa yang diberikannya itu. Sifat sombong, takabur, dan tinggi hati adalah sifat iblis penghuni neraka. Dengan demikian si pemberi merasa bersyukur karena merasa diberi balasan terbaik Allah berupa dijauhkan dari sifat-sifat tercela itu, yakni sifat iblis ahli neraka.

Terakhir, karena kacamata iman memberitahu bahwa Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana, maka balasan itu pasti ada unsur pengetahuan Allah yang tak terbatas. Dengan kata lain Allah sudah pasti paling tahu apa yang paling bijaksana buat hamba-Nya. Manusia, yang tidak tahu masa depannya, tidak mungkin tahu benar apa yang terbaik buat dirinya dan orang lain di masa depan. Karena Allah-lah Satu-satu-Nya yang tahu masa depan, maka dengan segenap Kebijaksanaan-Nya, Dia memberikan balasan yang terbaik buat para hamba-Nya, meskipun itu sekilas tampak pahit.

Contoh: kembali kepada kisah pemberi yang dicaci-maki oleh orang yang diberi di atas. Bisa jadi orang yang diberi itu mungkin sedang dirudung masalah berat, sehingga dia sebenarnya tidak ingin mencaci-maki si pemberi. Tapi itu sekedar luapan emosi tak terkendalinya karena masalah tidak terkait yang sedang dihadapinya. Namun karena si pemberi memiliki keimanan kepada Allah yang Maha Bijaksana, ia tidak membalas caci-maki itu dengan caci-maki serupa, tapi ia sabar, menahan diri, dan yakin bahwa caci maki itulah bentuk balasan paling bijaksana dari Allah. Sebab bisa jadi dengan cara ini Allah sedang menumbuhkan di dalam diri si pemberi itu sifat mulia sabar, bijak dan berempati dengan orang lain yang sedang dirudung masalah berat.

Selain itu, dengan kacamata keimanan, si pemberi berprasangka baik bahwa bisa jadi orang yang diberi itu suatu ketika berubah sifat. Orang yang diberi itu mungkin saja setelah itu merenungkan kembali perbuatan mencaci-makinya yang telah lewat, dan akhirnya sadar. Setelah sadar, bisa jadi orang yang diberi itu akan berubah menjadi orang baik, meminta maaf, atau bahkan meminta ampun kepada Allah dan mendoakan kebaikan atas si pemberi. Dan bisa jadi pula ia kemudian terilhami untuk menjadi orang yang sabar seperti si pemberi, dan ujung-ujungnya yang diuntungkan adalah si pemberi yang dicaci-maki itu. Sebab, jika seseorang melakukan kebaikan karena terilhami oleh kebaikan orang lain, maka orang yang mengilhami kebaikan itu akan mendapatkan cipratan kebaikan (pahala) dari orang yang meniru kebaikannya. Wallaahu a’lam (Dikisahkan langsung oleh Abu Ammar dari Hamburg, Jerman/hidayatullah.com).











KEUTAMAAN SHOLAT TAHAJJUD
Shalat malam, bila shalat tersebut dikerjakan sesudah tidur, dinamakan shalat Tahajud, artinya terbangun malam. Jadi, kalau mau mengerjakansholat Tahajud, harus tidur dulu. Shalat malam ( Tahajud ) adalah kebiasaan orang-orang shaleh yang hatinya selalu berdampingan denganAllah SWT.

Berfirman Allah SWT di dalam Al-Qur’an :
“ Pada malam hari, hendaklah engkau shalat Tahajud sebagai tambahan bagi engkau. Mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji.”
(QS : Al-Isro’ : 79)

Shalat Tahajud adalah shalat yang diwajibkan kepada Nabi SAW sebelum turun perintah shalat wajib lima waktu. Sekarang shalat Tahajud merupakan shalat yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan .

Sahabat Abdullah bin
Salam mengatakan, bahwa Nabi SAW telah bersabda :
“ Hai sekalian manusia, sebarluaskanlah salam dan berikanlah makanan serta sholat malamlah diwaktu manusia sedang tidur, supaya kamu masuk Sorga dengan selamat.”(HR Tirmidzi)

Bersabda Nabi Muhammad SAW :
“Seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu ialah shalat sunnat di waktu malam” ( HR. Muslim )

Waktu Untuk Melaksanakan Sholat Tahajud :
Kapan afdhalnya shalat Tahajud dilaksanakan ? Sebetulnya waktu untuk melaksanakan shalat Tahajud ( Shalatul Lail ) ditetapkan sejak waktu Isya’ hingga waktu subuh ( sepanjang malam ). Meskipun demikian, ada waktu-waktu yang utama, yaitu :
1. Sangat utama : 1/3 malam pertama ( Ba’da Isya – 22.00 )
2. Lebih utama : 1/3 malam kedua ( pukul 22.00 – 01.00 )
3. Paling utama : 1/3 malam terakhir ( pukul 01.00 – Subuh )

Menurut keterangan yang sahih, saat ijabah (dikabulkannya do’a) itu adalah 1/3 malam yang terakhir. Abu Muslim bertanya kepada sahabat Abu Dzar : “ Diwaktu manakah yang lebih utama kita mengerjakan sholat malam?”
Sahabat Abu Dzar menjawab : “Aku telah bertanya kepada Rosulullah SAW sebagaimana engkau tanyakan kepadaku ini.” Rosulullah SAW bersabda :
“Perut malam yang masih tinggal adalah 1/3 yang akhir. Sayangnya sedikit sekali orang yang melaksanakannya.” (HR Ahmad)

Bersabda Rosulullah SAW :
“ Sesungguhnya pada waktu malam ada satu saat ( waktu. ). Seandainya seorang Muslim meminta suatu kebaikan didunia maupun diakhirat kepada Allah SWT, niscaya Allah SWT akan memberinya. Dan itu berlaku setiap malam.” ( HR Muslim )

Nabi SAW bersabda lagi :
“Pada tiap malam Tuhan kami Tabaraka wa Ta’ala turun ( ke langit dunia ) ketika tinggal sepertiga malam yang akhir. Ia berfirman : “ Barang siapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barang siapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaanya. Dan barang siapa meminta ampunan kepada-Ku, Aku ampuni dia.” ( HR Bukhari dan Muslim )

Jumlah Raka’at Shalat Tahajud :
Shalat malam (Tahajud) tidak dibatasi jumlahnya, tetapi paling sedikit 2 ( dua ) raka’at. Yang paling utama kita kekalkan adalah 11 ( sebelas ) raka’at atau 13 ( tiga belas ) raka’at, dengan 2 ( dua ) raka’at shalat Iftitah. Cara (Kaifiat) mengerjakannya yang baik adalah setiap 2 ( dua ) rakaat diakhiri satu salam. Sebagaimana diterangkan oleh Rosulullah SAW :“ Shalat malam itu, dua-dua.” ( HR Ahmad, Bukhari dan Muslim )

Adapun Kaifiat yang diterangkan oleh Sahabat Said Ibnu Yazid, bahwasannya Nabi Muhammad SAW shalat malam 13 raka’at, sebagai berikut :
1) 2 raka’at shalat Iftitah.
2) 8 raka’at shalat Tahajud.
3) 3 raka’at shalat witir.

Adapun surat yang dibaca dalam shalat Tahajud pada raka’at pertama setelah surat Al-Fatihah ialah Surat Al-Baqarah ayat 284-286. Sedangkan pada raka’at kedua setelah membaca surat Al-Fatihah ialah surat Ali Imron 18-19 dan 26-27. Kalau surat-surat tersebut belum hafal, maka boleh membaca surat yang lain yang sudah dihafal.Rasulullah SAW bersabda :
“Allah menyayangi seorang laki-laki yang bangun untuk shalat malam, lalu membangunkan istrinya. Jika tidak mau bangun, maka percikkan kepada wajahnya dengan air. Demikian pula Allah menyayangi perempuan yang bangun untuk shalat malam, juga membangunkan suaminya. Jika menolak, mukanya
disiram air.” (HR Abu Daud)

Bersabda Nabi SAW :
“Jika suami membangunkan istrinya untuk shalat malam hingga
keduanya shalat dua raka’at, maka tercatat keduanya dalam golongan (perempuan/laki-laki) yang selalu berdzikir.”(HR Abu Daud)

Keutamaan Shalat Tahajud :
Tentang keutamaan shalat Tahajud tersebut, Rasulullah SAW suatu hari bersabda : “Barang siapa mengerjakan shalat Tahajud dengan
sebaik-baiknya, dan dengan tata tertib yang rapi, maka Allah SWT akan memberikan 9 macam kemuliaan : 5 macam di dunia dan 4 macam di akhirat.”
Adapun lima keutamaan didunia itu, ialah :
1. Akan dipelihara oleh Allah SWT dari segala macam bencana.
2. Tanda ketaatannya akan tampak kelihatan dimukanya.
3. Akan dicintai para hamba Allah yang shaleh dan dicintai oleh
semua manusia.
4. Lidahnya akan mampu mengucapkan kata-kata yang mengandung hikmah.
5. Akan dijadikan orang bijaksana, yakni diberi pemahaman dalam agama.

Sedangkan yang empat keutamaan diakhirat, yaitu :
1. Wajahnya berseri ketika bangkit dari kubur di Hari Pembalasan nanti.
2. Akan mendapat keringanan ketika di hisab.
3. Ketika menyebrangi jembatan Shirotol Mustaqim, bisa melakukannya dengan sangat cepat, seperti halilintar yang menyambar.
4. Catatan amalnya diberikan ditangan kanan.
(Bahan (materi) di ambil dari buku “RAHASIA SHALAT SUNNAT” (Bimbingan

Lengkap dan Praktis) Oleh: Abdul Manan bin H. Muhammad S

Filed under: Kenapa Bertahajud?
»»  selanjutnya kodong...

Jumat, 14 Mei 2010

Piala Dunia dan Gerakan Dajjalisme
Sunday, 09 May 2010 07:25
E-mail Print PDF

Kaum Muslim Jerman menjadi saksi atas pelecehan terhadap Islam yang dilakukan oleh supporter klub Schalke lewat yel-yel lagu

Oleh : Ruyatna Al-Bantany


Hidayatullah.com--Allah SWT berfirman: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)

Dalam waktu tidak lama lagi ruang publik kita akan disuguhi tontonan akbar seputar perhelatan sepak bola sejagat yang akan meramaikan dan menghiasi layar kaca dirumah kita, dan bisa dipastikan sebagian dari kita baik sadar atau tidak sadar akan ikut larut dalam ruang imaginasi yang melalaikan.

Piala Dunia 2010 yang sedianya dilaksanakan di Afrika Selatan saat ini memang belum dimulai, namun aroma atmosfernya sudah terasa menyengat diseluruh dunia tak terkecuali di negeri yang mayoritas muslim ini. Para gibol (baca : penggila bola) mungkin saat ini tengah melakukan persiapan atau tepatnya ritual untuk menyambut tamu agung bernama piala dunia ini. Industri media cetak dan elektronik negeri ini pun tak kalah sengit untuk ikut larut dan berpesta pora dalam balutan epistimologi kapitalisme meraup materi sebesar-besarnya menjelang piala dunia ini.

Paras manis sepakbola memang begitu memikat para penikmat dan maniak bola. Betapa tidak, sepakbola saat ini bukan hanya sebagai olahraga tapi sudah menjadi agama baru buat mereka para pemain kesayangan mereka pun bak menjadi nabi seketika, seolah alam tidak sadar mereka berteriak memekak telinga “not only as sport but also as religion.” Jelas tidak heran kalau kemudian seorang Johan Cruijjf legendaris sepakbola asal Belanda menyebutkan, “Mereka yang tidak mengerti sepakbola adalah mereka tanpa hati nurani.” Fakta tersebut memang tidak mungkin diulas disini, tapi penulis ingin mengatakan bahwa saat ini sepakbola sekarang sudah bergeser menjadi agama baru bagi para penganutnya.

Dalam Protokol Zionis Versi Rothchild menyebutkan, “Konspirasi akan membakar semangat rakyat hingga ke tingkat histeria. Saat itu rakyat akan menghancurkan apa saja yang kita mau, termasuk hukum dan agama. Kita, bahkan akan mudah menghapus nama Tuhan dan susila dari kehidupan”

Sepakbola, Piala Dunia dan Sistem Dajjal

Ahmad Thomson dalam bukunya “Sistem Dajjal” menyebutkan bahwa Dajjal akan muncul sebagai individu, sebagai gejala sosial budaya global dan sebagai kekuatan gaib yang tidak tampak. Dan saat ini yang baru muncul adalah fenomena yang terkait dengan tatanan sosial, budaya, politik, pendidikan, ekonomi, hukum dan moralitas yang mengalami kekacauan (chaos) akibat dari kekuatan atau ideologi yang tidak nampak tadi. Sedangkan Dajjal sebagai individu menurut Thomson memang saat ini belum nampak.

Namun yang harus digaris bawahi adalah bahwa dalam sistem Dajjal ini nilai-nilai yang ditawarkannya adalah seperangkat nilai yang paradoks dengan iman dan tauhid, semuanya berbasis syahwat, materi serta berusaha menggiring manusia kepada kekufuran, karena memang worldview dari sistem Dajjal ini adalah kekufuran sejati.

Lalu bagaimana relevansinya gerakan Dajjalisme ini dengan fenomena sepakbola diatas atau katakanlah dengan piala dunia yang sebentar lagi akan membuat gegap gempita setiap sudut bumi dari timur dan barat selatan maupun utara. Sejenak mari kita review kembali ingatan kita akan fenomena kerusakan moral dan sosial akibat gerakan Dajjalisme di lapangan hijau ini baik di tingkat dunia maupun lokal.

Mungkin masih hangat dalam ingatan kita bagaimana fatwa mufti Al-Azhar yang mengharamkan fanatik sepakbola terhadap para supporter mesir ternyata tidak mendapat tanggapan, yang terjadi malah sebaliknya para supporter fanatikus sepakbola dari negeri pyramida itu justru terlibat kerusuhan dengan sesama supporter al-jazair setelah pertandingan prakualifikasi piala dunia yang dimenangkan aljazair November 2009 lalu, ironis sepakbola rupanya lebih legit ketimbang fatwa sang mufti.

Kerusuhan antar supporter akibat fanatik sepakbola bukan hal yang aneh lagi dalam ingatan kita, Tragedi Heysel, Belgia, pada Piala Champions Eropa tahun 1985 memakan korban nan memilukan, disusul empat tahun kemudian meletus tragedi Hillsborough dikota Sheffield pendukung fanatik Liverpool meregang nyawa sia-sia lagi-lagi karena tumbal sepakbola. Kemudian mari kita tengok bumi pertiwi kita ini, fenomena kerusuhan Jakmania, The Viking, Bobotoh atau Bonek, Aremania, Hooligan Mania, ikut mewarnai kerusakan moral dan sosial akibat “agama baru” bernama sepakbola ini.

Kemudian mari kita jalan-jalan sejenak ke negara Jerman sana, ummat muslim Jerman menjadi saksi atas pelecehan terhadap Islam dan Rasulullah yang dilakukan oleh supporter klub Schalke lewat yel-yel lagu klub mereka, dimana dalam lagu tersebut tersembul bait yang menyebutkan “Muhammad adalah seorang Nabi yang tidak memahami sepakbola, Namun dari semua warna yang ada Nabi memilih warna kebesaran Schalke, biru dan putih,” jelas hal tersebut merupakan penghinaan dan membuat muslim jerman marah..lagi-lagi logika sepak bola sudah menjadi “agama baru” bukan hanya sekedar olahraga bagi para fanatikusnya. Dalam piala dunia nanti entah mana lagi yang akan dijadikan tumbal fanatisme dan logika “agama baru” tersebut dan kita pun dipaksa untuk “mengimaninya”

Euforia Piala Dunia dan nasib Ummat

Agaknya sentilan penuh canda yang cukup menohok dari seorang ustadz, beliau mengatakan bahwa saat piala dunia tengah berlangsung maka dapat dipastikan sebagian umat Islam akan rajin “qiyamulail” setiap malam, kiblatnya adalah televisi dan wiridnya adalah teriakan “Goaalllll…!!! Goaaallll..! atau mungkin wirid lain yang membuatnya lebih khusyu sampai matahari pagi tersenyum kepadanya.

Namun di saat yang sama di belahan bumi Islam disana, Palestina, Iraq, Afghanistan, Patani Thailand dan lainnya tengah berkecamuk mempertahankan akidah dan berlomba-lomba menjemput syahid fi sabilillah demi membeli syurganya Allah dengan tetesan darahnya. Dan kepada mereka yang berjuang melawan kebiadaban tentara Zionis, setiap hari harus berhadapan dengan mortir mematikan yang siap menyalak setiap saat mengantarkan menuju syahid.

Sementara kita, di sini, di tempat yang nyaman ini, masih terlena dalam buaian Dajjalisme berselimut euphoria semu. Masihkan kita terlena sambik berteriak goaaaalllllll…! [www.hidayatullah.com]
»»  selanjutnya kodong...
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Friday, 14 May 2010 10:22
E-mail Print PDF


Gagasan Islam tentang ilmu pengetahuan menyatu dengan keinginan mencapai kebahagian akhirat, cita-cita akan manfaat bagi kemanusiaan, dan tanggung jawab dalam rangka meraih ridha Allah.



Oleh: Fethullah Gülen*

MENGALIR ke masa depan bak banjir cepat yang penuh kekuatan dan daya hidup, dan terkadang menyerupai taman mempesona, alam semesta ini seperti buku yang dipersembahkan kepada kita untuk dipelajari, sebuah pameran untuk disaksikan, dan sebuah amanah yang dipercayakan kepada kita dengan kebolehan mengambil manfaat darinya. Dengan mempelajari makna dan isi amanah ini, kita harus menggunakannya dengan cara yang bermanfaat bagi generasi masa depan serta generasi sekarang. Jika kita mau, kita dapat mengartikan ilmu pengetahuan sebagai hubungan sebagaimana diidamkan di atas antara manusia dan dunia ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan adalah warisan bersama umat manusia, bukan milik pribadi dari orang-orang tertentu. Permulaannya dimulai dengan permulaan umat manusia. Ketika budaya intelektual Eropa mencapai kedewasaan yang memadai, yang sebagian besarnya dicapai melalui prestasi negara-negara selain-Eropa lainnya, ilmu-ilmu eksperimental secara khusus telah matang bagi perkembangan baru menyeluruh melalui Renaissance, Abad Kebangkitan.

Jika ilmu pengetahuan sejati berarti mengarahkan kecerdasan menuju kebahagian akhirat tanpa mengharapkan keuntungan materi, melakukan pengkajian tak kenal lelah dan terperinci tentang alam semesta untuk menemukan kebenaran mutlak yang mendasarinya, dan mengikuti metoda yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, maka ketiadaan hal-hal tersebut memiliki arti bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat memenuhi harapan kita. Meskipun biasanya dikemukakan sebagai pertikaian antara Kristen dan ilmu pengetahuan, pertikaian zaman Renaissance terutama adalah antara ilmuwan dan Gereja. Copernicus, Galileo, dan Bacon [dikemukakan sebagai] anti-agama. Kenyataannya, dapat kita katakan bahwa ketaatan mereka terhadap agama telah memunculkan cinta dan pemikiran untuk menemukan kebenaran.

Sebelum Kristen, Islam adalah pembawa obor pengetahuan ilmiah. Pemikiran agama yang memancar dari kebahagian akhirat, dan cinta serta semangat yang muncul dari pemikiran itu, yang disertai rasa kefakiran dan ketidakberdayaan di hadapan Pencipta Mahakekal, berada di balik kemajuan ilmiah besar selama 500-tahun yang tersaksikan di dunia Islam hingga akhir abad kedua belas. Gagasan ilmu pengetahuan berdasarkan Wahyu Ilahi, yang mendorong penelitian ilmiah di dunia Islam, dipersembahkan nyaris sempurna oleh tokoh-tokoh terkemuka zaman itu, yang tenggelam dalam pikiran tentang kebahagiaan akhirat, meneliti alam semesta tanpa kenal lelah untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Ketaatan mereka kepada Wahyu Ilahi menyebabkan kecerdasan yang berasal dari Wahyu itu memancarkan cahaya yang memunculkan gagasan baru ilmu pengetahuan di dalam jiwa manusia.

Jika gagasan ilmu pengetahuan, yang diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat seolah merupakan bagian dari risalah Ilahi, dan yang dipelajari dengan semangat ibadah, tidak pernah terkena serangan Mongol yang menghancurkan serta terpaan Perang Salib yang tak berbelas kasih dari Eropa, maka dunia hari ini akan lebih tercerahkan, memiliki kehidupan intelektual yang lebih kaya, teknologi yang lebih sehat, dan ilmu pengetahuan yang lebih menjanjikan. Saya katakan ini karena gagasan Islam tentang ilmu pengetahuan menyatu dengan keinginan mencapai kebahagian akhirat, cita-cita akan manfaat bagi kemanusiaan, dan tanggung jawab dalam rangka meraih ridha Allah.

Cinta akan kebenaran mengarahkan penelitian ilmiah sejati. Ini berarti mendekati alam semesta tanpa pertimbangan keuntungan materi dan balasan duniawi, dan mengamati dan mengenalinya sebagaimana kenyataan sebenarnya. Sementara mereka yang dilengkapi dengan cinta seperti itu dapat mencapai tujuan akhir dari penelitian mereka, mereka yang terkena syahwat duniawi, cita-cita materi, prasangka ideologis, dan taklid buta terhadapnya, serta tidak mampu mengembangkan rasa cinta akan kebenaran apa pun, akan gagal, atau lebih buruk lagi, mengalihkan jalannya penelitian ilmiah dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai senjata mematikan untuk digunakan melawan kemampuan terbaik umat manusia.

Tiada kegiatan intelektual yang muncul dari dan diarahkan oleh hasrat duniawi dan kepentingan pribadi yang dapat benar-benar mendatangkan hasil bermanfaat bagi kemanusiaan. Jika hasrat yang mengotori jiwa serta perilaku tidak tepat seperti itu digabungkan dengan fanatisme dan prasangka ideologis, hal ini pasti akan menempatkan rintangan tak teratasi di jalan menuju kebenaran dan menuju penggunaan hasil kajian ilmiah agar bermanfaat bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, cendekiawan, lembaga pendidikan, dan media massa harus bekerja untuk mengeluarkan penelitian ilmiah modern dari atmosfer yang tercemar mematikan akibat cita-cita materialistis dan fanatisme ideologis, dan mengarahkan ilmuwan menuju nilai-nilai kemanusiaan sejati. Langkah pertama adalah membebaskan pikiran dari takhayul dan fanatisme ideologis dan membersihkan jiwa dari keinginan mendapatkan balasan dan keuntungan duniawi. Ini juga adalah prasyarat pertama untuk memastikan kebebasan sejati dalam berpikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan yang baik. Setelah memerangi "kependetaan" dan gagasan keliru yang dibangun atas nama agama, dan setelah menyalahkan mereka atas kemunduran, kepicikan, dan fanatisme, ilmuwan harus bekerja keras agar senantiasa bebas dari menjadi sasaran tuduhan serupa.

Tidak ada perbedaan antara penindasan intelektual dan ilmiah yang timbul dari hasrat kepentingan dan kekuasaan dengan fanatisme ideologis dan pemikiran sempit yang didasarkan pada gagasan agama yang keliru dan menyimpang serta dipegangnya kendali kekuasaan oleh kaum agamawan. Nama asli dari agama yang diturunkan Allah senantiasa adalah Islam, yang berarti kedamaian, keselamatan dan ketaatan kepada Allah. Hal ini benar, apakah itu diajarkan oleh Musa atau Isa, atau disampaikan oleh Muhammad. Islam mendakwahkan dan menyebarkan sopan santun, hormat terhadap nilai-nilai kemanusiaan, cinta, toleransi, dan persaudaraan. Banyak ayat Al-Qur’an mendorong pengkajian alam semesta, yang dipandangnya sebagai tempat pameran karya-karya Ilahi. Selain itu, Al-Qur’an meminta orang merenungkan penciptaan dan ciptaan, dan menggunakannya secara bertanggungjawab, bukan dengan cara jahat dan merusak. Ketika mempelajarinya dengan pikiran terbuka, kita memahami bahwa Al-Qur'an menganjurkan mencintai ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, keadilan dan ketertiban. Pada tataran relatif lebih kecil berupa pemanfaatan ilmu pengetahuan dan hasil-hasilnya demi meraih kekuasaan dan cita-cita duniawi dengan menindas orang lemah, sebagian orang telah menggunakan Al-Qur'an untuk membenarkan kebencian dan permusuhan nurani gelap mereka. Sayangnya, di tangan orang-orang yang ingin menghabisi Islam, sikap tersebut telah digunakan untuk menggambarkan Islam sebagai agama kebencian, permusuhan, dan dendam.

Islam secara harfiah berarti perdamaian dan keselamatan. Nabi mengartikan Muslim sebagai seseorang yang dengannya orang lain merasa aman dan selamat akibat perbuatan tangan dan lidahnya; dan mukmin (orang beriman), berasal dari kata “amn” (keamanan dan keselamatan), sebagai seseorang yang meyakini dan memberikan jaminan keamanan, ketertiban, keadilan, cinta, dan pengetahuan. Melalui cahaya yang dipancarkan Islam, banyak orang telah membaktikan hidup mereka untuk kebahagiaan orang lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi, dan banyak yang lainnya telah membulatkan diri membimbing umat manusia menuju kebahagiaan akhirat.

Didirikan di atas Al-Qur’an, Islam telah membangun ilmu pengetahuan dan pencariannya di atas landasan niat menemukan makna keberadaan alam semesta dalam rangka mencapai Sang Pencipta, dan untuk mendatangkan manfaat bagi kemanusiaan, bahkan bagi semua ciptaan, serta untuk menjiwainya dengan keimanan, cinta, dan sikap mementingkan kebaikan bagi orang lain. Inilah yang kita pelajari dari Al-Qur'an, kehidupan teladan Nabi, dan perilaku dari banyak sosok yang meneladaninya secara sempurna dalam hal pikiran dan tindakan. Yeseren Dusunceler, Izmir 1996, hal. 172-78[www.hidayatullah.com]

Ilustrasi:Jutta Klee/Corbis

*)Fethullah Gülen (www.fgulen.com) adalah tokoh cendekiawan terkemuka Turki yang memiliki pengetahuan dan pengalaman mengajar sangat luas di bidang Islam. Seorang penulis handal lebih dari 60 buku yang telah diterjemahkan ke banyak bahasa dunia, Fethullah Gülen memiliki pengalaman bertahun-tahun sebagai imam, dai, dan pegiat masyarakat madani dengan kepakaran yang diakui tentang Islam, pendidikan, dan dialog di Turki dan di seluruh dunia. Tulisan di atas adalah hasil karyanya berjudul: The Concept of Science. Tulisannya yang lain telah diterbitkan hidayatullah.com dengan judul: Mengapa Kita Merujuk Pada Ilmu Pengetahuan dan Fakta Ilmiah.
»»  selanjutnya kodong...